Sabai nan Aluih

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><span class="post-timestamp"><a class="timestamp-link" href="http://icollecta.blogspot.com/2015/04/sabai-nan-aluih.html" rel="bookmark" title="permanent link"><abbr class="published updated" itemprop="datePublished" title="2015-04-07T13:08:00+07:00"></abbr></a></span><span class="metabtn" title="more options"></span> <br /><div class="post-body entry-content" id="post-body-1497734193266777765"><div itemprop="articleBody"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYijxWVxVqABQmSUdlKG7PVPxwF4GcVaQIp3BpMYsH4-3q1Wp5-eLOHXJuHzIcFODOeouTGuv855IGHdjuDEzEdZbTighe4Eon4xaYpQrlpzVBwJlzXkqOSe8z02NwDfyqYzMPnW7UqReT/s1600/sabai+aluih.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYijxWVxVqABQmSUdlKG7PVPxwF4GcVaQIp3BpMYsH4-3q1Wp5-eLOHXJuHzIcFODOeouTGuv855IGHdjuDEzEdZbTighe4Eon4xaYpQrlpzVBwJlzXkqOSe8z02NwDfyqYzMPnW7UqReT/s1600/sabai+aluih.jpg" width="266" /></a></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Di daerah Sumatra Barat, Indonesia, terkenal sebuah </span><em style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">kaba</em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"> (</span><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">prosa</span><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"> Minangkabau)</span><em style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"> </em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">yang sering dinyanyikan oleh para tukang </span><em style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">kaba</em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"> sejak dahulu kala. Dalam </span><em style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">kaba</em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"> tersebut diceritakan bahwa Sabai nan Aluih adalah seorang gadis pembela kebenaran dan penumpas kejahatan. Bagaimana Sabai nan Aluih membela kebenaran dan menumpas kejahatan? Kisah selengkapnya dapat Anda ikuti dalam cerita </span><em style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sabai nan Aluih</em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"> berikut ini.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: center;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">* * *</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Alkisah,</span></strong><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"> di Padang Tarok, Sumatra Barat, hiduplah sepasang suami istri, Rajo Babanding dan Sadun Saribai. Mereka tinggal bersama kedua orang anaknya di sebuah rumah <em>bergojong</em> (berujung) empat yang terletak di sekitar hilir Sungai Batang Agam. Anaknya yang sulung adalah seorang gadis cantik bernama Sabai nan Aluih, sedangkan anak bungsunya seorang pemuda tampan bernama Mangkutak Alam. Meskipun dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang sama, kedua kakak beradik tersebut memiliki sifat yang berbeda. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Mangkutak adalah seorang pemalas. Kerjanya setiap hari hanya bermain layang-layang, sehingga kulitnya menjadi hitam karena terbakar sinar matahari. Sedangkan Sabai nan Aluih adalah gadis cantik yang rajin membantu pekerjaan ibunya dan senantiasa mengisi waktu luangnya dengan menenun dan merenda. Sesuai dengan namanya Sabai nan Aluih (Sabai yang halus atau lembut), ia berbudi pekerti luhur, santun dalam berbicara, dan hormat kepada yang tua. Tak heran jika semua orang menyukainya. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Perangai dan kecantikan Sabai nan Alui terkenal hingga ke kampung lain. Pada suatu hari, berita tentang kencantikannya sampai ke telinga seorang teman baik ayah Sabai yang bernama Rajo nan Panjang. Ia adalah saudagar kaya yang sudah lama merantau ke Kampung Situjuh. Ia sangat disegani oleh masyarakat Kampung Situjuh, karena mempunyai tiga orang pengawal yang hebat, yaitu Rajo nan Konkong, Lompong Bertuah, dan Palimo Banda Dalam. Namun, Rajo nan Panjang termasuk saudagar kaya yang sangat keras dan suka memeras warga di sekitarnya dengan cara meminjamkan uangnya dengan bunga yang tinggi.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Ketika mengetahui sahabatnya mempunyai anak gadis yang cantik jelita, Rajo nan Panjang mengirim utusannya untuk meminang Sabai nan Aluih. Ia sangat yakin bahwa ayah Sabai pasti akan menerima pinangannya. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Wahai, Pengawal! Aku mengutus kalian pergi menemui Rajo Babanding untuk menyampaikan pinanganku kepada anak gadisnya. Aku yakin Rajo Babanding sahabatku itu pasti senang mendapatkan menantu kaya seperti aku!” seru Rajo nan Panjang kepada para pengawalnya dengan penuh percaya diri.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Mendapat perintah tersebut, para pengawal itu pun berangkat ke Padang Tarok. Sesampainya di Padang Tarok, mereka pun menyampaikan pinangan tuannya kepada ayah Sabai nan Aluih. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Kami adalah utusan Rajo nan Panjang dari Kampung Situjuh. Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan pinangan tuan kami kepada Sabai nan Aluih,” kata seorang utusan.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Begini, Tuan-tuan! Saya tidak bermaksud mengecewakan hati sahabatku itu. Tolong sampaikan permintaan maaf saya kepadanya bahwa saya malu bermenantukan orang kaya yang seumur dengan saya!” pesan Rajo Babanding.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Setelah mendapat jawaban penolakan dari Rajo Babanding, para utusan itu pun segera kembali ke Kampung Situjuh untuk menyampaikan berita tersebut kepada tuan mereka. Mendengar penolakan tersebut, Rajo nan Panjang merasa sangat terhina.  </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Ah, sombong sekali Pak Tua itu! Masa tidak mau bermenantukan orang kaya,” ketus Rajo nan Panjang.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Maaf, Tuan! Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya seorang pengawalnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Apakah kita harus memaksanya, Tuan?” tambah seorang pengawal lainnya. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Jangan dulu, Pengawal! Aku akan datang sendiri ke sana untuk melamar Sabai nan Aluih. Aku yakin Rajo Babanding tidak akan menolak lagi pinanganku. Pak Tua itu pasti tahu bahwa aku ini orang besar yang mempunyai anak buah yang hebat seperti kalian,” kata Raja nan Panjang.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Akhirnya, berangkatlah Rajo nan Panjang bersama ketiga orang pengawalnya. Rajo Babanding pun menerima mereka dengan baik. Namun, hatinya berkata bahwa sahabatnya itu telah melanggar sopan santun karena meminang anak gadisnya secara langsung kepadanya. Menurut adat di negeri itu, pinangan tidak boleh disampaikan langsung kepada ayah si Gadis, melainkan kepada <em>mamak</em> atau adik kandung ibu gadis itu. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sebenarnya, Rajo Babanding ingin langsung menolak pinangan tersebut. Namun, ia  khawatir jika pinangan itu langsung ditolak, Rajo nan Panjang akan marah dan mengamuk. Rajo Babanding akan sangat malu jika pertengkaran terjadi di rumahnya. Untuk itu, ia pun mengajak Rajo nan Panjang untuk berunding di luar rumah.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Sahabatku! Sebaiknya kita berunding di luar rumah saja,” ajak Rajo Babanding.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Rajo nan Panjang pun mengetahui bahwa pinangannya ditolak secara halus oleh ayah Sabai nan Aluih. Ia sadar bahwa dirinya ditantang untuk berkelahi. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan sahabatku. Tapi, di mana kita akan berunding?” tanya Rajo nan Panjang menerima tantangan Rajo Babanding.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Kita berunding di Padang Panahunan,” jawab Rajo Babanding.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Kapan?” tanya Rajo nan Panjang.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Bagaimana kalau hari Minggu?” jawab Rajo Babanding.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Baik, aku setuju!” kata Rajo nan Panjang seraya berpamitan.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Setelah Rajo nan Panjang bersama para pengawalnya pergi meninggalkan rumah Rajo Babanding, tiba-tiba Sabai nan Aluih keluar dari kamarnya, lalu segera menghampiri ayah dan ibunya yang masih duduk di ruang tamu. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Maaf, Ayah! Sabai telah mendengar semua pembicaraan Ayah dengan Rajo nan Panjang. Jika Ayah berunding dengan sahabat Ayah itu di tempat sepi, Sabai yakin pasti akan terjadi perkelahian. Bukankah begitu, Ayah?” tanya Sabai nan Aluih.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Benar, Anakku! Tapi, kamu jangan khawatir, Ayah pasti bisa jaga diri,” jawab Ayah Sabai. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sejak itu, Hati Sabai nan Aluih selalu bimbang memikirkan keselamatan Ayahnya. Pada malam harinya, Sabai bermimpi buruk, lumbung padi menjadi arang, kerbau sekandang dicuri orang, dan ayam ternak disambar elang. Bagi Sabai, mimpinya itu merupakan pertanda bahwa Ayahnya akan celaka. Keesokan harinya, ia pun menceritakan mimpinya itu kepada ayahnya untuk mencegah ayahnya berunding dengan Rajo nan Panjang di Padang Panahunan. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Ayah! Semalam Sabai mimpi buruk. Sebaiknya Ayah mengurungkan niat untuk bertemu dengan Rajo nan Panjang itu. Sabai khawatir terjadi sesuatu pada diri Ayah,” kata Sabai nan Aluih cemas.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Anakku, Sabai! Mimpimu pertanda baik. Lumbung padi terbakar berarti padi akan dipanen. Kerbau hilang berarti ternak kita akan bertambah. Ayam disambar elang berarti adikmu Mangkutak akan dilamar orang,” bujuk Rajo Babanding menenangkan hati Sabai.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Oh, Ayah! Kalau benar demikian, hati Sabai menjadi tenang. Akan tetapi, jika malapetaka yang menimpa, ke mana lagi kami akan bergantung,” kata Sabai dengan sedih.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Tenanglah, Anakku! Ayah lakukan semua ini demi untuk mempertahankan harkat dan martabat keluarga kita. Ayah tidak ingin kehormatan keluaga kita dicoreng oleh Raja nan Panjang yang angkuh dan sombong itu,” kata Raja Babanding.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Pada hari yang telah ditentukan pun tiba. Berangkatlah Rajo Babanding ke Padang Panahunan. Padang Panahunan adalah tempat yang sepi dan sejak dulu digunakan untuk berkelahi. Rajo Babanding membawa seorang pembantunya yang bernama Palimo Parang Tagok. Ia mengajak pembantunya itu untuk berjaga-jaga jika Rajo nan Panjang berbuat curang. Seandainya pun ia terbunuh dalam pertarungan tersebut, setidaknya Palimo Parang Tagok dapat memberi kabar kepada keluarganya yang ada di rumah. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Saat mereka tiba di Padang Panahunan, tampak Rajo nan Panjang bersama seorang pengawal setianya Palimo Banda Dalam sudah menunggu. Rupanya Rajo nan Panjang sengaja datang lebih awal untuk mengatur siasat liciknya. Ia telah memerintahkan dua orang pengawal lainnya yakni Rajo nan Kongkong dan Lompong Bertuah untuk bersembunyi di balik semak-semak. Salah seorang di antaranya membawa senapan. Senapan itu akan digunakan pada saat diperlukan.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Melihat kedatangan Rajo Babanding bersama seorang pembantunya dari kejauhan, Rajo nan Panjang berpesan kepada para pengawalnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Pengawal, aku peringatkan kalian! Jangan memandang remeh Rajo Babanding! Kalian bukanlah lawannya yang sebanding. Berhati-hatilah!” seru Rajo nan Panjang.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Baik, Tuan!” jawab para pengawalnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Rajo Babanding dan pembantunya semakin mendekat ke arah Raja nan Panjang. Ketika saling berhadapan, mereka pun saling menggertak.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Hai, Rajo Babanding! Rupanya kamu berani juga mengantarkan nyawamu kemari!” seru Rajo nan Panjang.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Kita lihat saja nanti, siapa di antara kita yang akan mati terlebih dahulu,” kata Rajo Babanding dengan tenang.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Ha... ha... ha... !!! Tentu saja kamulah yang akan mati, Babanding,” kata Rajo nan Panjang sambil tertawa terbahak-bahak.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Majulah kalau berani!” tantang Rajo Babanding.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Mendengar tantangan itu, Palimo Banda Dalam tiba-tiba menyerang Rajo Babanding dengan sebuah pukulan keras. Rajo Babanding pun segera berkelik menghindari pukulan itu dengan gesitnya. Berkali-kali Palimo Banda Dalam menyerang, namun tak satu pun pukulannya yang menyentuh tubuh Rajo Babanding. Melihat pengawalnya yang mulai kelelahan, Rajo nan Panjang segera membantu. Rajo Banbanding pun menjadi marah karena dikeroyok.  Jika semula hanya bertahan, kini ia berbalik menyerang. Dengan sebuah pukulan keras, ia menghantam lambung kanan Palimo Banda Dalam dan seketika itu pula Palimo Banda Dalam jatuh tersungkur di tanah. Namun tanpa diduganya, tiba-tiba Lampong Bertuah menyerangnya dari belakang. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Awas, Tuan! Musuh datang dari belakang!” teriak Palimo Parang Tagok yang melihat Lampong Bertuah muncul dari balik semak-semak.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Rajo Babanding pun segera menghindar. Selamatlah ia dari serangan itu. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Hai, Rajo nan Panjang! Rupanya kamu telah berbuat curang!” seru Rajo Babanding. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Ha... ha... ha... !!! Kini saatnya kamu akan mati Babanding,” kata Rajo nan Panjang</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Melihat tuannya dicurangi, Palimo Parang Tagok segera membantu tuannya. Pertarungan itu pun semakin seru. Kini, satu lawan satu. Rajo Babanding menghadapi Rajo nan Panjang, sedangkan Palimo Parang Tagok menghadapi Lampong Bertuah. Namun, pertarungan antara kedua orang pengawal tersebut tidak berlangsung lama. Keduanya jatuh terkapar di tanah dengan keris menancap di tubuh mereka karena mereka saling menikam. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sementara itu, pertarungan antara Rajo Babanding dengan Rajo nan Panjang masih berlangsung seru. Keduanya silih berganti menyerang. Mulanya, Rajo Babanding hanya bertahan dan menghidar dari serangan-serangan Rajo nan Panjang. Pada saat yang tepat, ia berbalik menyerang dengan menyabetkan kerisnya ke ke arah Rajo nan Panjang. Rajo nan Panjang pun terluka dan terjatuh. Dengan sekuat tenaga, ia berteriak memberikan aba-aba kepada Rajo nan Kongkong yang masih bersembuyi di balik semak-semak.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Hai, Nan Konkong! Tunggu apa lagi!” </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Rajo Babanding pun sadar jika Rajo nan Panjang masih mempunyai seorang pengawal lagi. Namun, baru saja ia bersiap-siap memasang kuda-kuda, tiba-tiba sebuah peluru bersarang di dadanya. Ia pun jatuh tersungkur di tanah tak sadarkan diri. Rajo nan Kongkong pun segera keluar dari balik semak-semak setelah melihat Rajo Babanding tidak berdaya lagi terkena tembakannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Pada saat itu, kebetulan ada seorang gembala yang menyaksikan peristiwa itu. Ia pun segera memberitahukan peristiwa itu kepada Sabai nan Aluih. Betapa terkejutnya Sabai mendengar berita itu. Pesan dalam mimpinya benar-benar menjadi kenyataan. Ia pun segera mengajak adiknya yang baru saja datang dari bermain layang-layang untuk melihat keadaan ayah mereka. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Hai, Mangkutak! Ayo kita ke Padang Panahunan. Ayah telah meninggal terkena tembakan di dadanya!” seru Sabai nan Aluih.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Tidak, Kak! Kakak saja yang ke sana. Aku belum mau mati. Bukankah aku akan bertunangan?” kata Mangkutak tidak menghiraukan ajakan Sabai.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Dasar, laki-laki pengecut!” seru Sabai.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Dengan perasaan kesal, Sabai nan Aluih segera naik rumah dan langsung masuk ke dalam kamar ayahnya untuk mengambil senapan. Kemudian ia berlari menuju ke Padang Panahunan. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Rajo nan Panjang bersama pengawalnya, Rajo nan Kongkong. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Haaaiiii, mau ke mana kamu gadis cantik?”  </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Hai, tua bangka yang tidak tahu malu! Apa yang telah kau lakukan terhadap ayahku?” tanya Sabai dengan muka memerah.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Kau cantik sekali jika sedang marah,” goda Raja nan Panjang.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Hai, tua bangka! Jawab pertanyaanku? Kau apakan ayahku?” Sabai kembali bertanya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Ha... ha... ha....!!! Tidak usah lagi kamu mencari ayahmu. Pak Tua itu telah pergi meninggalkanmu,” jawab Rajo nan Panjang.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Apa maskudmu, tua bangka?” tanya Sabai.  </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Ayahmu mati tertembak senapan itu,” jawab Rajo nan Panjang sambil menunjuk senapan yang dibawa Rajo nan Kongkong. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Jadi, kau telah menembak ayahku. Bukankah ayahku tidak bersenjata? Dasar tua bangka curang!” hardik Sabai nan Aluih sambil mengarahkan senapannya ke dada saudagar kaya yang sombong itu. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Rajo nan Panjang dan pengawalnya itu kembali terbahak-bahak sambil mengejek Sabai nan Aluih.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Ha... ha... ha... !!! Hai, gadis cantik! Senapan itu bukan mainan anak perempuan!” </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sabai nan Aluih yang tidak tahan lagi melihat perilaku Rajo nan Panjang itu langsung menarik pelatuk senapannya. Terdengarlah suara dentaman yang sangat keras. Seketika itu pula, Rajo nan Panjang terjatuh ke tanah, karena sebuah peluru menembus dadanya. Melihat tuannya tidak sadarkan diri, Rajo nan Kongkong pun langsung lari tunggang-langgang. Sementara Sabai nan Aluih segera menuju ke Padang Panahunan untuk melihat keadaan ayahnya. Sesampainya di tempat itu, ia mendapati ayahnya sudah tidak bernyawa lagi. Hatinya sangat sedih karena sang Ayah yang merupakan tumpuan hidup keluarganya telah pergi untuk selamanya. Tak berapa lama kemudian, ibu Sabai bersama beberapa orang warga lainnya tiba di tempat itu. Mereka pun segera membawa pulang jenazah ayah Sabai untuk dikuburkan. </span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: center;"><strong><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">* * *</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Demikianlah cerita <em>Sabai nan Aluih</em> dari daerah Minangkabau, Sumatra Barat, Indonesia. Untuk mengenang keberanian Sabai nan Aluih dalam membela kebenaran dan menumpas kejahatan, masyarakat setempat juga mengabadikan nama Sabai nan Aluih dalam sebuah <em>kaba</em> yang bunyinya seperti berikut:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“...Sabai nan Aluih, gadis cantik yang berhati lembut dan rajin bekerja. Ia berani membela yang benar dan melawan kejahatan, meskipun jiwanya terancam bahaya. Ia kemudian menangisi ayahnya yang tewas di Padang Panahunan. Tewas ditembak dari belakang oleh Rajo nan Kongkong...”</span></em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya, ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu keutamaan sifat pemberani dalam membela kebenaran, dan akibat buruk dari sifat tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Pertama,</span></em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"> keutamaan sifat pemberani dalam membela kebenaran. Sifat ini ditunjukkan oleh keberanian Sabai nan Alui menumpas kejahatan, meskipun nyawanya terancam bahaya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">wahai ananda dengarlah peri,<br />di atas yang benar hendaklah berani<br />menghadapi lawan berpantang lari<br />supaya hidupmu tidak merugi</span></em></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">wahai ananda dengarlah pesan,<br />gagah berani sifat yang jantan<br />berlemah lembut sifat perempuan<br />di atas yang hak engkau berjalan</span></em></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Kedua,</span></em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"> akibat buruk dari sifat tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku Rajo nan Panjang suka berbuat semena-mena terhadap orang lain dengan harta dan pangkat yang dimilikinya. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa jabatan, kedudukan, dan kekayaan bukanlah sebuah jaminan bagi seseorang untuk mendapatkan segala yang diinginkannya. Jika seseorang tidak pandai menjaga semua nikmat Tuhan yang diberikan kepadanya, maka bukanlah kenikmatan yang dirasakan melainkan malapetaka yang akan menimpanya. Dikatakan dalam tunjuk Ajar Melayu:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">rizki jangan mematikan,<br />harta jangan membutaka,,<br />nikmat jangan menyesatkan</span></em></div><br /><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt;"><strong><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sumber:</span></em></strong></div><ul><li><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Isi cerita diadaptasi dari A. A. Navis. 1999. <em>Cerita Rakyat dari Sumatra Barat</em>. Jakarta: Grasindo.</span></li><li><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Anonim. “Sumatra Barat,” <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Barat">http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Barat</a>.</span></li><li><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Tenas Effendy. 2006. <em>Tunjuk Ajar Melayu</em>. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.</span></li></ul></div></div><div class="post-footer"><div class="post-footer-line post-footer-line-1"><div class="post-author vcard"></div></div></div></div>

Sabai nan Aluih

Di daerah Sumatra Barat, Indonesia, terkenal sebuah kaba ( prosa Minangkabau) yang sering dinyanyikan oleh para tukang kaba sejak dahu...

Baca selengkapnya »

Siamang Putih

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><span class="post-timestamp"><a class="timestamp-link" href="http://icollecta.blogspot.com/2015/04/siamang-putih.html" rel="bookmark" title="permanent link"><abbr class="published updated" itemprop="datePublished" title="2015-04-07T13:14:00+07:00"></abbr></a></span><span class="metabtn" title="more options"></span> <br /><div class="post-body entry-content" id="post-body-6763589132194230320"><div itemprop="articleBody"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjl9YgGGPy-yJ51Mlas9Aq07P6tAXKm1ALX1CrgRZ1ei-NzBs7TtAcx9xFjhTkZjHL-bpuS7tG8sH5LCb-FeFuNewyZDCSXaL3Olv38CqFYwt8bSxJqwQ5Bunx0smpi2xO8p0IoOnIJFe2m/s1600/Putri_Julian.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjl9YgGGPy-yJ51Mlas9Aq07P6tAXKm1ALX1CrgRZ1ei-NzBs7TtAcx9xFjhTkZjHL-bpuS7tG8sH5LCb-FeFuNewyZDCSXaL3Olv38CqFYwt8bSxJqwQ5Bunx0smpi2xO8p0IoOnIJFe2m/s1600/Putri_Julian.jpg" width="210" /></a></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Siamang Putih adalah sebuah legenda yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Sumatra Barat, khususnya yang tinggal di pesisir utara Pantai Tiku. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, siamang putih merupakan penjelmaan seorang gadis cantik yang bernama Puti Juilan. Ia adalah cucu dari Tuanku Raja Kecik yang memerintah di Kerajaan Pagaruyung saat itu. Mengapa Puti Juilan berubah menjadi siamang putih? Kisah menarik ini dapat Anda ikuti dalam cerita <em>Siamang Putih</em> berikut ini.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: center;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">** *</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Alkisah,<strong> </strong>di Kampung Alai di pesisir utara Pantai Tiku Sumatra Barat, tersebutlah seorang juragan kapal yang bernama Nahkoda Baginda. Ia adalah putra Tuanku Raja Kecik yang memerintah di Kerajaan Pagaruyung. Nahkoda Baginda mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Puti Juilan. Kecantikan parasnya terkenal hingga ke berbagai negeri. Belum seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena selain cantik bagaikan bidadari, ia juga keturunan bangsawan. Sementara, para pemuda atau perjaka yang tinggal di negeri itu dan negeri di sekitarnya kebanyakan menjadi nelayan atau anak buah ayahnya. Sebenarnya, banyak anak orang kaya atau pun keturunan bangsawan yang pantas untuk menjadi pendamping hidup Puti Juilan, namun semuanya telah berkeluarga dan beranak-pinak. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Keadaan tersebut membuat hati Puti Juilan cemas. Setiap hari ia selalu tampak murung dan mengurung diri dalam kamar. Mengetahui keadaan itu, Tuanku Raja Kecik pun cemas memikirkan nasib cucu kesayangannya itu. Ia pun segera memanggil putra dan menantunya (ayah dan ibu Puti Juilan) untuk mengadakan pertemuan keluarga. Dalam pertemuan tersebut, mereka bersepakat untuk mengadakan pesta gelanggang keramaian, yaitu tempat orang menghibur diri dan bercengkrama. Pesta yang akan berlangsung selama sebulan penuh tersebut bertujuan untuk mencarikan jodoh yang pantas untuk Puti Juilan. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Pada malam sebelum pesta itu dimulai, Puti Juilan bermimpi bertemu dengan seorang pemuda keturunan bangsawan bernama Sutan Rumandung. Ia pun menceritakan perihal mimpinya itu kepada kedua orang tua dan kakeknya. Mendengar cerita cucunya itu, Tuanku Raja Kecik menitahkan kepada pengawal istana untuk mencari pemuda itu pada saat pesta berlangsung. Pada pesta hari pertama, di antara undangan yang hadir tak seorang pun yang bernama Sutan Rumandang. Memasuki hari kedua dan ketiga, pemuda itu tidak juga ditemukan. Demikian pula pada hari-hari berikutnya hingga perhelatan besar tersebut berakhir. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Akhirnya, Tuanku Raja Kecik meminta bantuan kepada ahli nujum istana untuk menggerakkan hati Sutan Rumandang agar datang ke Kampung Alai. Dengan kesaktiannya, ahli nujum itu berhasil mendatangkan pemuda itu. Suatu hari, sebuah kapal layar berlabuh di dermaga. Perahu tersebut tampak rusak parah di mana seluruh tiangnya patah karena diterpa badai. Melihat kedatangan perahu itu, salah seorang prajurit yang bertugas di dermaga segera melapor kepada Tuanku Raja Kecik.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Ampun, Baginda! Baru saja sebuah kapal asing berlabuh di dermaga. Kapal itu dinahkodai oleh seorang pemuda tampan,” lapor prajurit.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Suruh pemuda itu menghadap kepadaku!” titah Tuanku Raja Kecik.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Baik, Baginda! Titah segera hamba laksanakan!” jawab prajurit itu.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Tak berapa lama kemudian, prajurit itu pun kembali bersama pemuda itu. Tuanku Raja Kecik bersama keluarga istana, termasuk Puti Juilan, menyambutnya dengan baik. Saat melihat pemuda itu, Puti Juilan langsung tersentak kaget seakan-akan tidak percaya. Pemuda itulah yang hampir setiap malam hadir dalam mimpinya. Puti Juilan pun berbisik kepada ibunya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Bu, pemuda itulah yang selalu hadir dalam mimpi Puti,” bisik Puti Juilan.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Apakah kamu yakin, Putriku?” tanya ibunya dengan suara pelan.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Puti yakin sekali, Bu! Wajahnya sama persis dengan wajah pemuda di dalam mimpi Puti,” jawab Puti dengan penuh keyakinan.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Baiklah kalau begitu, Putriku! Ibu akan menanyakan siapa sebenarnya pemuda itu,” kata ibunya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Maaf, Anak Muda! Engkau ini siapa dan berasal dari mana?” tanya ibu Puti Juilan kepada pemuda itu.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Nama hamba Sutan Rumandang putra seorang juragan dari negeri seberang,” jawab pemuda itu.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Mendengar jawaban pemuda itu, semua keluarga istana yang hadir merasa sangat gembira dan bahagia, terutama Tuanku Raja Kecik.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Pucuk ditiba ulam pun tiba. Pemuda yang selama ini kita tunggu akhirnya datang juga,” ucap Tuanku Raja Kecik dengan perasaan lega.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Dengan tidak sabar, Tuanku Raja Kecik ingin segera menikahkan cucu kesayangannya itu dengan Sutan Rumandang. Namun, Sutan Rumandang menolak, karena ia harus pergi mencari harta yang banyak untuk menikahi Puti Juilan. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Maaf, Baginda! Untuk saat ini, hamba belum pantas menikahi Puti Juilan, karena usaha hamba sedang merugi,” ungkap Sutan Rumandang.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Seluruh keluarga istana pun mengerti maksud pemuda tampan itu. Namun, sebelum Sutan Rumandang berangkat berlayar, keluarga istana bersepakat untuk menunangkan mereka. Akhirnya, pertunangan itu dilangsungkan dengan sangat meriah.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Usai acara pertunangan, Sutan Rumandang memohon izin kepada Puti Juilan dan keluarga istana untuk pergi berlayar mencari harta yang banyak. Puti Juilan bersama kakek dan kedua orang tuanya turut mengantar Sutan Rumandang ke dermaga. Dalam perjalanan menuju ke dermaga, Puti Juilan terlihat sedih dan wajahnya murung. Sungguh berat hatinya ingin berpisah dengan Sutan Rumandang. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Tak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di dermaga. Sebelum kapal layar yang akan ditumpangi Sutan Rumandang meninggalkan dermaga, Puti Juilan berpesan dan mengucapkan janji kepada tunangannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Kanda Sutan Rumandang, berhati-hatilah di jalan dan cepatlah kembali setelah berhasil! Dinda bersumpah akan selalu setia menanti Kanda sampai kapan pun. Dinda tidak akan menikah selain dengan Kanda. Jika Dinda melanggar sumpah ini, biarlah Dinda menjadi siamang,” ucap Puti Juilan.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Kanda pun bersumpah, jika Kanda tidak setia kepada Dinda, biarlah Kanda tenggelam bersama kapal Kanda di tengah laut,” balas Sutan Rumandang dengan ucapan sumpah.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Setelah berpamitan, Sutan Rumandang pun berlayar mengarungi samudara luas. Dari atas kapal, ia melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. Puti Juilan pun membalasnya sambil meneteskan air mata. Semakin jauh kapal itu ke tengah laut, air mata Puti Juilan semakin deras mengalir. Ketika kapal itu hilang dari pandangan mata, Puti bersama keluarganya meninggalkan dermaga. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sejak itu, Puti Juilan selalu berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar melindungi tunangannya dan cepat kembali untuk menikahinya. Waktu berjalan begitu cepat. Sudah setahun lebih menunggu, Puti Juilan belum juga mendapat kabar dari tunangannya. Hingga akhir tahun kedua, tunangannya belum juga kembali dari pelayarannya. Ketika memasuki tahun ketiga, sebuah kapal dagang yang besar dan megah sedang berlabuh di dermaga. Mendengar kedatangan kapal itu, Puti Juilan bersama keluarganya segera menuju ke dermaga. Saat mereka tiba di dermaga, Puti Juilan tampak kecewa, karena kapal itu ternyata bukan milik tunangannya. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Namun, kekecewaan Puti Juilan langsung terobati saat ia melihat seorang pemuda tampan berpakaian mewah dan beberapa pengawalnya turun dari kapal.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Melihat pakaian dan jumlah pengawalnya, pemuda itu pastilah bukan orang sembarangan,” kata Puti Juilan dalam hati. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Puti Juilan terus memerhatikan pemuda itu turun dari meniti anak tangga kapal satu persatu. Dengan penuh wibawa, pemuda itu berjalan menuju ke arah tempat ia dan keluarganya berdiri. Wajah tampan dan kewibawaan pemuda itu benar-benar memikat hati Puti Juilan. Pikirannya tentang Sutan Rumandang tiba-tiba lenyap begitu saja. Seluruh perhatian dan perasaannya tercurahkan kepada pemuda tampan itu.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Bu, coba perhatikan pemuda itu! Dia sangat tampan dan gagah,” bisik Puti Juilan. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Ibunya pun mengerti maksud Puti Juilan kalau dia menyukai pemuda itu. Ia pun mengajak pemuda itu ke istana. Setelah ditanya tentang asal-usulnya, ternyata pemuda itu seorang keturunan bangsawan dari negeri tetangga. Akhirnya, ia pun dinikahkan dengan Puti Juilan dengan mengadakan pesta yang sangat meriah. Seluruh bangsawan dan orang-orang kaya di negeri itu dan di negeri tetangga turut diundang. Berbagai seni pertunjukan juga digelar. Ketika semua undangan telah hadir, pesta pun dimulai. Penghulu mulai menanyai kesediaan kedua mempelai. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Apakah kamu bersedia menikah dengan Puti Juilan?” tanya penghulu kepada mempelai laki-laki.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Setelah mempelai laki-laki itu menyatakan kesediaannya, penghulu itu bertanya kepada Puti Juilan. Ketika hendak menjawab pertanyaan penghulu, tiba-tiba Puti Juilan memekik seperti orang tersengat lebah.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">`Aduh, sakitnya!” pekik Puti Juilan sambil melompat berdiri.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Setelah itu, Puti Juilan kembali duduk. Saat akan menjawab pertanyaan kedua dari penghulu, ia kembali memekik sambil melompat dan bergayut di ambang pintu. Pada saat akan menjawab pertanya ketiga, ia memekik lagi dengan suara yang sangat keras seraya melompat tinggi ke bubungan rumah. Semua yang hadir menyaksikan peristiwa tersebut lari berhamburan ke luar rumah. Mereka melihat tubuh Puti Juilan di atas bubungan sedikit demi sedikit ditumbuhi oleh bulu berwarna putih. Lama-kelamaan, bulu itu semakin tebal dan memenuhi tubuhnya. Bentuk tubuh dan wajahnya pun perlahan-lahan berubah menyerupai seekor siamang. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Begitu seluruh tubuh Puti Juilan telah menjelma menjadi seekor siamang putih, barulah Tuanku Raja Kecik tersadar bahwa cucu kesayangannya itu telah melanggar sumpahnya. Namun, apa hendak diperbuat, nasi telah menjadi bubur. Seluruh keluarga istana hanya bisa pasrah menerima nasib malang yang telah menimpa Puti Juilan. Setiap hari, kala sang surya akan kembali ke peraduannya, siamang putih duduk di atas bubungan rumah sambil berbunyi dengan suara keras.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Wuuut... wuut.... wuut!” </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Siamang putih itu terus berbunyi sambil menatap jauh ke arah laut menanti kedatangan Sutan Rumandang. Namun, Sutan Rumandang tak kunjung tiba. Semakin hari, suara siamang terdengar semakin sendu, seperti tangis seorang gadis yang sedang putus asa. Beberapa hari kemudian, suara siamang tidak pernah terdengar lagi. Seorang warga telah menemukannya mati di atas pohon ketaping tempatnya bersarang. Mengetahui hal itu, keluarga istana segera mengambil dan membawanya pulang untuk dikuburkan layaknya manusia. Seluruh rakyat negeri turut berduka cita atas meninggalnya Puti Juilan dalam wujud seekor siamang.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Beberapa hari kemudian, terdengarlah kabar bahwa Sutan Rumandang tenggelam di tengah laut karena telah melanggar sumpahnya, yakni menikah dengan seorang putri di negeri rantau.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: center;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">* * *</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Demikian cerita <em>Siamang Putih</em> dari daerah Sumatra Barat, Indonesia. Cerita yang berbentuk legenda tersebut di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa orang yang melanggar sumpah dan mengingkari janji seperti Puti Juilan, akan termakan oleh sumpah dan janjinya. Dalam kehidupan orang Melayu, mengingkari janji merupakan </span><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">sifat tercela dan termasuk ciri kemunafikan. Orang munafik adalah orang yang bertolak belakang antara lahir dengan batinnya, atau dengan kata lain orang munafik adalah orang yang tidak jujur dan tidak pandai memegang amanah. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:</span></div><blockquote><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">apa tanda orang tidak berbudi,</span></em><br /><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">lain di mulut lain di hati</span></em><br /><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;"> </span></em><br /><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">apa tanda orang yang malang,</span></em><br /><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">lain di muka lain di belakang</span></em></blockquote><br /><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Sumber: </span></strong></div><ul><li style="text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Isi cerita diadaptasi dari A.A. Navis. 2001. “Siamang Putih” dalam <em>Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3</em>. Jakarta: Grasindo.</span></li><li style="text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Anonim. “Siamang”, <a href="http://ms.wikipedia.org/wiki/Siamang">http://ms.wikipedia.org/wiki/Siamang</a>. </span></li><li style="text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Tenas Effendy. 1994/1995. <em>“Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau.</em> Pekanbaru: Proyek Pengembangan Seni Budaya Riau Bappeda Tingkat I Riau.</span></li></ul></div></div></div>

Siamang Putih

Siamang Putih adalah sebuah legenda yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Sumatra Barat, khususnya yang tinggal di pesisir utara P...

Baca selengkapnya »

Asal Usul Danau Maninjau

<span class="post-timestamp"><a class="timestamp-link" href="http://icollecta.blogspot.com/2015/04/asal-usul-danau-maninjau.html" rel="bookmark" title="permanent link"><abbr class="published updated" itemprop="datePublished" title="2015-04-05T16:28:00+07:00"></abbr></a></span><span class="metabtn" title="more options"></span> <br /><div class="post-body entry-content" id="post-body-8402511524144285808"><div itemprop="articleBody"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhE-IOUyoLnafgn2jFhVLip_JuF3RqpEdi2MquWxgqV_2tDlahUQTRqvtiYd0JeQs8_XVguQxaZSlq24dWijRVIRaQSdxmWQBiQAhH5wahyphenhyphenLrJmlrkMPSwXQccUf1w37Z3Z49esQw0v2YgL/s1600/Danau+Maninjau.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhE-IOUyoLnafgn2jFhVLip_JuF3RqpEdi2MquWxgqV_2tDlahUQTRqvtiYd0JeQs8_XVguQxaZSlq24dWijRVIRaQSdxmWQBiQAhH5wahyphenhyphenLrJmlrkMPSwXQccUf1w37Z3Z49esQw0v2YgL/s1600/Danau+Maninjau.jpg" width="320" /></a></div></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;"><span style="font-style: normal;">Danau Maninjau</span></span></em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;"> adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km² dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita <em>Asal</em> <em>Usul Danau Maninjau</em> berikut ini! </span></div><div align="center" style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: center;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">* * *</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Alkisah,</span></strong><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;"> di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Datuk Limbatang adalah seorang <em>mamak</em> di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai <em>mamak</em>, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Sudah lama merendam selasih</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Barulah kini mau mengembang</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Sudah lama kupendam kasih</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Barulah kini bertemu pandang”</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 12pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Telah lama orang menekat</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Membuat baju kebaya lebar</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Sudah lama abang terpikat</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Hendak bertemu dada berdebar”</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 12pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Rupa elok perangaipun cantik</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Hidupnya suka berbuat baik</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Orang memuji hilir dan mudik</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Siapa melihat hati tertarik”</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 12pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Buah nangka dari seberang</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Sedap sekali dibuat sayur</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Sudah lama ku nanti abang</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Barulah kini dapat menegur”</span></em></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">“Jika roboh kota Melaka</span></em></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Papan di Jawa saya tegakkan</span></em></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Jika sungguh Kanda berkata</span></em></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">Badan dan nyawa saya serahkan”</span></em></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karena hal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Aduh, sakit...! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.  </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?” </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.</span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!” </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan. </span></div><div align="center" style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: center;"><strong><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">* * *</span></strong></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Demikian cerita <em>Asal Usul Danau Maninjau</em> dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang. </span></div><div style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban</span><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;"> </span><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu: </span></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">siapa tak tahu kesalahan sendiri,</span></em></div><div style="margin: 6pt 0cm 0.0001pt;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">lambat laun hidupnya keji</span></em></div><div style="margin: 12pt 0cm 0.0001pt;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">kalau suka berdendam kesumat,</span></em></div><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">alamat hidup akan melarat</span></em></div></div>

Asal Usul Danau Maninjau

Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. ...

Baca selengkapnya »

Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak

<span class="post-timestamp"><a class="timestamp-link" href="http://icollecta.blogspot.com/2015/04/asal-mula-sungai-ombilin-dan-danau.html" rel="bookmark" title="permanent link"><abbr class="published updated" itemprop="datePublished" title="2015-04-05T16:38:00+07:00"></abbr></a></span><span class="metabtn" title="more options"></span> <br /><div class="post-body entry-content" id="post-body-5548103168813120267"><div itemprop="articleBody"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqgD7ky48B87Ai6mpiJegMqkDEEhQKz58QeJ2n6iNGAlmlIXzAtsgr_4gjETHigxlaniyt72y2hqzsqWX1CO4quWcFK5HoMOEQIUt-lsx7fiGltVWeHQ1MEX4djQ3iKvU3jyB06jfa2wR-/s1600/Asal+Mula+Sungai+Ombilin+dan+Danau+Singkarak.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqgD7ky48B87Ai6mpiJegMqkDEEhQKz58QeJ2n6iNGAlmlIXzAtsgr_4gjETHigxlaniyt72y2hqzsqWX1CO4quWcFK5HoMOEQIUt-lsx7fiGltVWeHQ1MEX4djQ3iKvU3jyB06jfa2wR-/s1600/Asal+Mula+Sungai+Ombilin+dan+Danau+Singkarak.jpg" /></a></div></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Danau Singkarak dengan luas 107,8 m²merupakan danau terluas kedua setelah Danau Toba di Pulau Sumatra, Indonesia. Danau yang berada di ketinggian 36,5 meter dari permukaan laut ini terletak di dua kabupaten di Provinsi Sumatra Barat, yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar. Menurut cerita, danau yang juga merupakan hulu Sungai Batang Ombilin ini dahulu memang merupakan lautan luas. Namun karena terjadi sebuah peristiwa yang luar biasa, air laut tersebut menyusut. Peristiwa Apakah yang menyebabkan air laut tersebut menyusut, sehingga lautan itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita <em>Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak</em> berikut ini.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: center;"><strong><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">* * *</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Alkisah, </span></strong><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">di sebuah kampung di daerah Sumatra Barat, hiduplah keluarga Pak Buyung. Ia  tinggal di sebuah gubuk di pinggir laut bersama istri dan seorang anaknya yang masih kecil bernama Indra. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Pak Buyung bersama istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan dan menangkap ikan di laut. Setiap pagi mereka pergi ke hutan di Bukit Junjung Sirih untuk mencari manau, rotan, dan damar untuk dijual ke pasar. Jika musim ikan tiba, mereka pergi ke laut menangkap ikan dengan menggunakan pancing, bubu ataupun jala. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Ketika sudah berumur sepuluh tahun, Indra sering membantu kedua orangtuanya ke hutan maupun ke laut. Betapa senang hati Pak Buyung dan istrinya mempunyai anak yang rajin seperti Indra. Namun, ada satu hal yang membuat mereka risau, karena si Indra memiliki suatu keanehan, yaitu selera makannya amatlah berlebihan. Dalam sekali makan, ia dapat menghabiskan nasi setengah bakul dengan lauk beberapa piring. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Pada suatu ketika, musim paceklik tiba. Baik hasil hutan maupun hasil laut sangat sulit diperoleh. Untuk itu, keluarga Pak Buyung harus berhemat terutama menahan selera makan. Mereka harus makan apa adanya. Jika tidak ada nasi, mereka makan ubi atau pun keladi (talas). Cukup lama musim paceklik berlangsung, sehingga mereka semakin kesulitan mendapatkan makanan. Hal itu rupanya membuat mereka lebih peduli pada diri sendiri daripada terhadap anaknya. Kesulitan mendapatkan makanan itu juga membuat mereka hampir berputus asa. Mereka sering bermalas-malasan pergi mencari rotan ke hutan dan mencari ikan ke laut. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Sudah beberapa hari keluarga Pak Buyung hanya makan ubi bakar. Tentu hal itu tidak mengenyangkan perut si Indra. Suatu hari, Indra menangis minta makanan kepada kedua orangtuanya. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Ayah, carikan saya makanan! Saya sangat lapar,” keluh Indra.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Hei, anak malas! Kalau kamu lapar carilah sendiri makanan ke hutan atau ke laut sana!” seru ayahnya dengan nada kesal.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Pak! Bukankah anak kita masih kecil? Tentu dia belum bisa mencari makanan sendiri,’ sahut sang Ibu.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Iya, dia memang masih anak-anak. Tapi, dia yang paling banyak makannya,” bantah sang suami.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Mendengar bantahan suaminya itu, sang Istri pun diam. Ia kemudian membujuk Indra agar berangkat sendiri ke Bukit Junjung Sirih untuk mencari hasil-hasil hutan di Bukit. Indra pun menuruti nasehat ibunya. Sebelum berangkat ke hutan, Indra terlebih dahulu memberi makan seekor ayam piaraannya yang bernama Taduang. Si Taduang adalah seekor ayam yang pandai. Setiap kali tuannya (si Indra) pulang dari hutan, ia selalu berkokok menyambut kedatangan tuannya. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Menjelang siang, Indra pulang dari hutan tanpa membawa hasil. Keesokan harinya, ayahnya memerintahkannya pergi ke laut untuk memancing ikan. Saat Indra pergi ke laut, ayah dan ibunya hanya tidur-tiduran di gubuk. Tampaknya, mereka benar-benar sudah putus asa menghadapi kesulitan hidup. Keadaan demikian berlangsung selama sebulan, sehingga Indra merasa tubuhnya sangat lelah dan berniat untuk beristirahat beberapa hari.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Pada suatu hari, sepulang dari laut mencari ikan, Indra berkata kepada ayahnya:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Ayah! Badanku terasa sangat letih. Bolehkah saya beristirahat untuk beberapa hari?” pinta Indra.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Apa katamu? Dasar anak malas! Kamu tidak boleh beristirahat. Besok kamu harus tetap kembali ke laut mencari ikan,” ujar sang Ayah.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Oleh karena tidak ingin membatah perintah ayahnya, keesokan harinya Indra pergi ke laut mencari ikan. Ketika Indra berangkat ke laut, secara diam-diam ibunya juga berangkat ke laut. Tapi, ia menuju ke sebuah tanjung, agak jauh dari tempat Indra mencari ikan. Sementara ayahnya pergi ke hutan. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Menjelang siang, Pak Buyung kembali dari hutan dengan membawa seikat ijuk. Sesampainya di rumah, ia melihat istrinya sedang membersihkan <em>pensi</em> (sejenis kerang berukuran kecil). </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Sedang apa, Bu?” tanya  Pak Buyung kepada istrinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Sedang membersihkan <em>pensi</em>, Pak! Tadi ketika hendak mencari ikan di laut, aku melihat banyak warga dari kampung tetangga sedang mencari <em>pensi</em>. Akhirnya aku pun ikut mencari <em>pensi</em> bersama mereka,” jawab istrinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Bagaimana cara memasaknya? Bukankah Ibu belum pernah memasak <em>pensi</em> sebelumnya? ” tanya Pak Buyung.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Tenang, Pak! Kata seorang warga dari kampung tetangga, daging <em>pensi</em> enak jika dimasak <em>pangek</em><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3976261034658282476#_ftn1" name="_ftnref1"><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt;">[1]</span></span></span></a>,” jelas istrinya.  </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Wah, kalau begitu, kita makan enak siang ini,” ucap Pak Buyung sambil mengusap-usap perutnya yang sudah keroncongan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Setelah membersihkan <em>pensi</em> itu, sang Istri pun segera membuatkan bumbu dan memasaknya. Tak lama kemudian, aroma masakan <em>pangek</em> pun tercium oleh Pak Buyung.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Wah, harum sekali aromanya. Istriku memang pintar memasak,” puji Pak Buyung seraya mendekati istrinya yang sedang masak di dapur.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Bu, apakah <em>pangek</em> ini cukup kita makan bertiga?” tanya Pak Buyung.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Tentu saja cukup,” jawab istrinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Apakah Ibu sudah lupa kalau si Indra makannya banyak? <em>Pangek</em> ini pasti tidak cukup dia makan sendiri,” kata Pak Buyung.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">‘Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Pak?” tanya istrinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Bagaimana kalau kita makan diam-diam, selagi si Indra masih berada di laut,” saran Pak Buyung.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Tapi, sebentar lagi dia pulang,” kata istrinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Kalau dia pulang, pasti akan ketahuan.,” ucap Pak Buyung.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Bagaimana Bapak bisa mengetahuinya!” tanya istrinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Jika si Taduang berkokok, berarti si Indra telah pulang,” jawab Pak Buyung.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Sang Istri pun mengangguk-angguk mendengar jawaban suaminya. Keduanya pun menyantap <em>pangek</em> itu dengan lahapnya. Namun, baru makan beberapa suap, tiba-tiba ayam peliharaan Indra berkokok. Mendengar kokok ayam itu, kedua suami-istri itu segera mencuci tangan, lalu membereskan makanan dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Ketika Indra masuk ke gubuk, ia melihat kedua orangtuanya sedang duduk-duduk bersantai. Kedua orangtuanya terlihat tenang, seakan-akan tidak ada sesuatu yang terjadi.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Hei, Indra! Mana ikan yang kamu peroleh?” tanya ayahnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Maaf, Ayah! Hari ini aku tidak memperoleh ikan?” jawab Indra dengan wajah kusut. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Kenapa kamu pulang kalau belum memperoleh ikan?” tanya ayahnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Maaf, Ayah! Saya sangat letih dan lapar,” jawab Indra.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Hei, apa yang bisa kamu makan kalau tidak memperoleh ikan?” sang Ayah kembali bertanya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Saya sudah berusaha, Ayah. Tapi belum berhasil,” jawab Indra.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Ayah, Ibu! Adakah sesuatu yang bisa saya makan. Sekedar pengganjal perut,” pinta Indra kepada kedua orangtuanya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Tidak! Hari ini tidak ada makanan untuk anak pemalas,” kata ayahnya.  </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Tapi, Ayah! Saya lapar sekali,” keluh Indra sambil memegang perutnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Baiklah! Kamu boleh makan, tapi kamu harus mencuci ijuk ini sampai bersih,” sahut ibunya sambil menyerahkan ijuk yang tadi dibawa suaminya dari hutan. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Indra pun segera pergi ke laut mencuci ijuk itu karena ingin mendapatkan makanan dari kedua orangtuanya. Ketika Indra berangkat ke laut, kedua orangtuanya kembali melanjutkan acara makan mereka. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Wah, meskipun baru kali ini Ibu memasak <em>pangek pensi</em>, tapi rasanya lezat sekali,” sanjung Pak Buyung kepada istrinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Sang Istri tersenyum mendengar sanjungan suaminya. Kemudian sepasang suami istri itu makan <em>pangek</em> dengan lahapnya. Mereka baru berhenti makan setelah perut mereka benar-benar sudah penuh. Selesai makan, mereka kembali menyembunyikan makanan yang masih tersisa di bawah tempat tidur. Tidak beberapa lama kemudian, si Taduang terdengar berkokok, pertanda tuannya telah kembali dari laut. Ketika masuk ke dalam gubuk, Indra melihat kedua orangtuanya masih sedang duduk bersantai. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Bagaimana? Apakah ijuk itu sudah bersih kamu cuci?” tanya ibunya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Sudah, Bu,” jawab Indra sambil meletakkan ijuk itu di depan ibunya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Hah! Kenapa masih hitam begini? Kamu harus mencucinya hingga berwarna putih,” ujar ibunya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Tapi, Bu! Aku sudah berusaha mencucinya berkali-kali, bahkan aku menggosoknya dengan  campuran pasir, tapi masih tetap berwarna hitam,” sanggah Indra.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Ah, alasan saja! Cuci lagi ijuk itu ke laut!” seru ayahnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Dengan langkah sempoyongan, Indra pun kembali ke laut. Sesampainya di laut, ia terus berusaha mencuci dan menggosok ijuk itu hingga berkali-kali, tetapi tetap saja berwarna hitam. Rupanya Indra yang masih anak-anak tidak mengetahui jika ijuk itu memang pada dasarnya berwarna hitam. Meskipun ijuk itu berkali-kali dicuci dan digosok, tentu tidak akan pernah berwarna putih. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Menjelang senja, Indra kembali ke gubuknya. Ketika masuk ke ruang tengah gubuknya, ia tidak lagi melihat kedua orangtuanya duduk-duduk. Dengan pelan-pelan, ia melangkah menuju ke ruang dapur. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kedua orangtuanya sedang tertidur pulas di ruang dapur. Di sekeliling mereka berserakan piring makan, bakul nasi, dan panci <em>pangek pensi</em> yang telah kosong. Hanya kuah dengan beberapa cuil daging <em>pensi</em> yang tersisa. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Alangkah sedihnya hati Indra menyaksikan semua itu. Kini ia menyadari bahwa kedua orangtuanya telah menipu dan membohonginya. Namun, sebagai anak yang berbakti, dia tidak ingin marah kepada mereka yang telah melahirkannya. Ia pun berjalan keluar dari gubuknya sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya. Saat berada di luar gubuk, ia langsung menangkap ayam kesayangannya, si Taduang. Kemudian ia duduk di atas batu di samping gubuknya sambil mengusab-usap bulu si Taduang.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">“Taduang! Rupanya Ayah dan Ibuku telah menipuku. Untuk apalagi aku tinggal bersama mereka di sini, kalau mereka sudah tidak menyayangiku lagi,” kata Indra kepada ayamnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Mendengar pernyataan Indra, ayam itu pun berkokok berkali-kali, pertanda bahwa ia mengerti perasaan tuannya. Si Taduang kemudian mengepak-ngepakkan sayapnya. Indra pun mengerti bahwa ayam kesayangannya itu akan mengajaknya pergi meninggalkan kampung itu. Dengan cepat, Indra pun segera berpegangan pada kaki si Taduang. Beberapa saat kemudian, si Taduang terbang ke udara, sementara Indra tetap berpegangan pada kakinya. Saat tubuh Indra terangkat, batu tempat Indra duduk itu juga ikut terangkat. Anehnya, semakin tinggi mereka terbang, batu itu semakin membesar. Akhirnya, si Taduang pun sudah tidak kuat lagi membawa terbang si Indra bersama batu besar itu. Melihat hal itu, Indra pun segera menyentakkan kakinya, sehingga batu besar itu melesat menuju ke bumi dan menghantam salah satu bukit yang ada di sekitar lautan. Hantaman batu itu membentuk sebuah lubang memanjang. Dengan cepat, air laut pun mengalir ke arah lubang itu dan menembus bukit, sehingga membentuk aliran sungai.  </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">  Konon, itulah yang menjadi asal mula Sungai Batang Ombilin, yang bermuara ke daerah Riau. Semakin lama air laut itu semakin menyusut, sehingga lautan itu berubah menjadi Danau Singkarak yang hingga kini menjadi kebanggaan masyarakat Solok. Sementara Indra yang diterbangkan oleh ayam kesayangannya, si Taduang, hingga kini tidak diketahui keberadaannya. </span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: center;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">* * *</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Demikian cerita <em>Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak</em> dari daerah Sumatra Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat suka mementingkan diri sendiri. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Pak Bujang bersama istrinya yang lebih mementingkan diri mereka sendiri dan melalaikan anak mereka yang sedang kelaparan. Akibatnya, mereka pun ditinggal pergi oleh anaknya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">kerja beramai,</span></em></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt;"><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">makan sendiri</span></em></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;"><strong><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Sumber:</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: 9pt; line-height: 150%;">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;">    </span></span><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Isi cerita diadaptasi dari Ivan Adilla. 2005. <em>Cerita Rakyat dari Solok (Sumatra Barat).</em> Jakarta: Grasindo.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt 18pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: 9pt; line-height: 150%;">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;">        </span></span><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Anonim. “Danau Singkarak,” http://www.wisatanet.com/templete/index.php?wil=3&id=000000000013512.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt 18pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: 9pt; line-height: 150%;">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;">        </span></span><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;"> Anonim. “Danau Singkarak,” http://id.wikipedia.org/wiki/Danau_Singkarak.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 6pt 0cm 0.0001pt 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: 9pt; line-height: 150%;">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;">       </span></span><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;">Tenas Effendy. 1994/1995. <em>“Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau</em>. Pekanbaru: Bapedda Tingkat I Riau.</span><br /><span style="font-family: Verdana; font-size: 9pt; line-height: 150%;"><br /></span></div><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3976261034658282476#_ftnref1" name="_ftn1"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;">[1]</span></span></span></span></a><span style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;"> </span><em><span style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;">Pangek</span></em><span style="font-family: Verdana; font-size: 8pt;"> adalah sejenis gulai pedas yang dimasak dengan bumbu kemiri, daun jeruk dan asam. Kuah <em>pangek</em> bukan diambil dari santan kelapa, tapi hanya dari air.</span></div></div></div>

Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak

Danau Singkarak dengan luas 107,8 m 2 merupakan danau terluas kedua setelah Danau Toba di Pulau Sumatra, Indonesia. Danau yang berada di...

Baca selengkapnya »